“Iya. Aku yang bajingan,” kataku padanya. Suaraku terdengar datar, tanpa beban.
Yang jelas, aku puas. Puas telah mencabik hatinya, menghancurkan perasaan yang dulu dia rawat dengan segenap jiwa.
Tapi Rania… Ah, dia ternyata sudah tahu.
Dia hanya diam, menatapku, dan sambil tersenyum kecut. Tidak ada amarah, tidak ada air mata, bahkan tidak ada reaksi yang berarti. Seakan semua ini sudah lama ia duga. Atau mungkin… dia memang sudah berhenti peduli?
Aku menyeringai.
“Kenapa diam saja? Bukankah ini saat yang kamu tunggu-tunggu? Momen di mana aku mengakui semuanya, tabiatku, dan kebusukanku? Momen di mana kau bisa membalas semua, bahkan dengan tamparan sekali pun” Aku tersenyum sinis, mencibirnya yang tak menunjukkan ekspresi apa pun.
Rania menghela napas. “Alan, aku sudah lama menduga. Tapi aku nggak mau hanya sekadar berasumsi sendiri, aku ingin mengungkap kebenarannya melalui mulutmu sendiri.”
“Aku lega dengan pertemuan ini. Akhirnya aku mendengar langsung darimu. Nggak heran sih jika kehidupan keluargamu kacau, ya mungkin karena perbuatanmu sendiri, ya kan? Aku nggak kaget, Alan.” katanya padaku.
“Kamu sadar nggak sih? Apa yang kamu banggakan dari diri kamu? Apa kamu merasa punya kekuasaan, kekayaan, kecerdasan, atau ketampanan? Sehingga kamu dengan bangganya dan percaya diri menjadi seorang player sejati? Wow, standing ovation deh! Hebat! Kamu sungguh luar biasa, haha…” imbuhnya.
Jantungku mencelos. Tapi aku tak ingin terlihat kaget, jadi aku tetap memasang wajah angkuh.
Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Biasanya, aku bisa memutarbalikkan keadaan, mengendalikan situasi. Tapi tidak untuk kali ini. Rania terlalu tenang… dan itu membuat kata-katanya terasa lebih kejam dari teriakan.
“Kamu tahu apa yang paling menyedihkan dari semuanya?” tanyanya lagi sambil menatapku lurus, matanya yang jernih tapi dingin.
“Apa?” gumamku pelan, nyaris tidak terdengar.
“Kamu itu ngerasa hebat karena bisa menaklukkan banyak perempuan. Padahal, kamu cuma laki-laki ‘kelaparan’ dan kesepian, yang takut sendirian. Jadi kamu cari validasi lewat perasaan orang lain… dan kamu bangga karenanya?”
Aku terkesiap. Perkataannya menamparku, tapi aku tetap berusaha terlihat tenang.
“Tapi nggak apa-apa, Alan. Semua orang punya masa lalu. Bedanya, sebagian orang belajar dari itu. Kamu? Kamu malah membusuk di dalamnya.”
Rania berdiri. Ia menghela napas panjang, lalu menatapku satu kali lagi penuh belas kasihan. Aku terkekeh.
Rania tersenyum tipis.
“Iya… Bukankah selama ini kamu yang selalu memulai dulu, kan? Harusnya itu nasihat buat dirimu sendiri, bukan untuk aku? Kamu nggak perlu khawatir, aku bukan seorang pengecut dan cemen sepertimu!
Aku pun sudah lama peringatkan hal ini padamu, kamu yang nggak bisa komitmen, ingat nggak? Lucu banget kamu ini, haha...
Perlu kamu tahu, aku pun tak sanggup kok bila bersamamu, hanya perempuan tolol saja yang bisa bertahan dengan lelaki macam kamu.”
“Aku hanya ingin melihat kapan kamu akan berhenti bersembunyi di balik topengmu. Aku ingin tahu seberapa jauh kamu mempertahankan kemunafikanmu. Dan sekarang, aku hanya ingin memastikan satu hal…” Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, menatap lurus ke dalam mataku.
“Kamu masih mencintai dirimu sendiri, Alan?”
Aku terdiam.
Aku selalu berpikir bahwa aku ini jago dalam bermain perasaan. Bahwa aku bisa mengendalikan siapa pun yang aku inginkan. Tapi kali ini, Rania tidak menangis, tidak memohon, tidak mengutukku. Ia justru terlihat seperti seseorang yang sudah menang dari awal.
Aku tersenyum kecut. “Tentu. Aku tak pernah berhenti.”
Rania mengangguk pelan. “Bagus.”
Aku mengernyit. “Apa maksudmu?”
Rania berdiri, merapikan rambutnya, lalu meraih tasnya.
“Tidak ada. Hanya saja, orang sepertimu akan jatuh bukan karena perempuan, bukan karena cinta, tapi karena dirinya sendiri.”
Aku menatapnya dengan pandangan tajam, berharap ada penjelasan lebih dari bibirnya. Tapi Rania hanya berbalik dan melangkah pergi dengan tenang, tanpa ragu, meninggalkan aku dengan segudang pertanyaan yang menggantung di udara.
Aku mendesis pelan.
Aku memang lelaki jahanam. Perempuan yang masuk ke dalam hidupku tak akan pernah bisa keluar tanpa membawa luka. Rania juga akan merasakan hal yang sama.
Tapi saat bayangannya benar-benar menghilang di balik pintu, yang tersisa hanya… kesunyian.
Aku menatap kosong ke depan.
Bukan karena sedih, tapi karena aku sendiri pun sudah tak tahu siapa sebenarnya diriku. Semua topeng yang kupakai selama ini telah runtuh. Ternyata, di balik semuanya, aku bukan siapa-siapa.
Selama ini aku pikir aku hebat. Mengendalikan orang, menaklukkan hati, mempermainkan cinta seperti permainan anak-anak.
Tapi nyatanya… semua itu cuma bentuk pelarian. Dari rasa hampa. Dari ketakutan ditinggalkan. Dari kenyataan bahwa aku tak pernah cukup, bahkan untuk diriku sendiri.
Yang kusadari adalah: aku merasa benar-benar terpuruk.
Perlahan, kebahagiaan menjauh. Kesenangan yang dulu terasa mudah kini hampa. Tak ada lagi rasa menang, tak ada lagi gairah, hanya pengulangan yang menjemukan.
Aku tetap mencoba mencari kepuasan, tapi semuanya terasa kosong.
Anak-anakku, jika mereka masih bisa menyebutku ayah, telah kehilangan sosok panutan sejak lama. Mereka tumbuh tanpa figur laki-laki yang seharusnya membimbing dan menjadi teladan.
Bagi mereka, aku hanyalah bayang-bayang lelaki yang gagal memahami makna hidup.
Dan kini, mereka memikul beban dari nama yang kuberikan, nama yang ternoda oleh dosa-dosa yang kutanam sendiri.
Pada akhirnya, aku tak pernah benar-benar menang.
Aku hanyalah lelaki jahanam yang perlahan tenggelam dalam kehampaan… kehampaan yang kuciptakan dengan tanganku sendiri.
Post a Comment