Hujan deras baru saja berhenti ketika Hanum duduk sendirian di balkon rumah, membaca buku fiksi yang ia sukai sambil menikmati secangkir teh hangat.
Malam itu, angin semilir menyapu wajahnya yang dingin, menyisakan aroma basah tanah yang begitu ia sukai.
Namun, di balik ketenangan malam itu, hatinya justru bergejolak tak karuan. Ia tahu mengapa merasa begitu gelisah. Tadi siang, ia menerima pesan singkat dari seseorang yang dulu pernah mengisi hatinya, Rama.
“Dear, gimana kabarmu? Apakah Aku bisa bertemu sebentar?”
Pesan itu singkat, namun membawa banyak kenangan yang seharusnya sudah ia kubur dalam-dalam.
Hanum tersenyum pahit. “Apa, maksudmu? Tak cukupkah selama ini kau buatku menderita?” bisik Hanum setelah membaca pesan itu.
Sudah lebih dari setahun ia dan Rama berpisah. Alasan perpisahan mereka mungkin terdengar sederhana bagi orang lain, namun bagi Hanum dan Rama, itu adalah keputusan yang teramat berat.
Cinta di antara mereka ada, tapi tak pernah cukup untuk menyatukan keduanya. Mereka terlalu berbeda dalam impian dan tujuan hidup. Meski sama-sama mencoba bertahan, pada akhirnya, Hanum harus memilih jalan yang berlawanan dengan Rama.
“Kenapa kau datang lagi?” gumam Hanum lirih, menatap kosong pada bayangannya di jendela kafe tempat ia duduk.
Suara langkah kaki membuatnya tersadar. Rama, dengan setelan sederhana dan senyum khasnya, berdiri di hadapannya. Wajahnya masih sama seperti dulu, hanya matanya kini tampak lebih sendu, seakan ada beban yang tak pernah tersampaikan.
“Hai, sudah lama di sini?”
“Ya,” jawab Hanum dengan nada yang hampir berbisik.
Mereka duduk berhadapan, sementara keheningan di antara mereka terasa kental dan canggung. Rama menatap cangkir kopi di hadapannya, menggoyang-goyangkannya pelan sebelum akhirnya menghela napas panjang.
“Aku ingin bicara, Hanum. Bukan tentang masa lalu kita atau apa yang terjadi di antara kita,” ujar Rama, memecah keheningan.
“Aku ingin tahu, apa kau pernah merasa… merasa bahwa mungkin kita salah berpisah?”
Hanum tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia tak menyangka Rama akan menyinggung hal yang bahkan ia sendiri takut untuk sekadar memikirkannya.
“Aku sudah berusaha untuk tidak mengingat masa-masa itu lagi, Rama,” jawab Hanum sambil memalingkan pandangan ke arah luar jendela.
“Aku berpikir bahwa kita berpisah karena memang harus begitu.”
“Benarkah?” desak Rama dengan suara yang lebih lembut.
“Atau itu hanya yang kau yakinkan pada dirimu sendiri?”
Pertanyaan itu menusuk hati Hanum. Ia tahu Rama selalu bisa membaca perasaannya, bahkan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan.
Ya, ia sering meyakinkan dirinya bahwa perpisahan mereka adalah yang terbaik, tapi di lubuk hatinya yang terdalam, ia tahu ada keraguan yang tak pernah hilang, rasa itu ternyata masih ada.
“Aku sudah mencoba melupakannya, Rama,” ujar Hanum, suaranya bergetar. “Setiap kenangan tentang kita, setiap harapan yang pernah kita bangun bersama, semua itu sudah kubiarkan pergi. Aku tidak ingin lagi bermimpi tentang masa depan yang sebenarnya tak pernah ada.”
Rama terdiam sejenak. Ia menatap Hanum dengan tatapan penuh arti, seolah mencoba mencari sesuatu dalam dirinya yang mungkin tak lagi ada.
“Aku mengerti,” kata Rama akhirnya. “Aku hanya ingin kau tahu… bahwa bukan hanya kau yang merasakan keraguan itu. Ada bagian dalam diriku yang berharap, jika saja kita bisa mencoba lagi. Tapi mungkin itu hanya mimpi yang bodoh.”
Malam itu, Rama mengungkapkan hal-hal yang selama ini hanya terpendam. Tentang bagaimana ia selalu teringat pada senyum Hanum di tengah kesibukannya.
Tentang rasa sesal yang datang setiap kali ia melihat orang lain bahagia dengan pasangan mereka. Meski ia tahu keputusan mereka berpisah adalah yang terbaik, namun hatinya tetap memberontak.
“Tapi aku tidak ingin kau membawa aku bermimpi lagi, Rama,” jawab Hanum kepada Rama, meski hatinya hampir hancur.
“Aku tak ingin kembali ke lingkaran yang sama, berharap dan terluka pada akhirnya. Aku tak ingin terjebak dalam permainanmu untuk kedua kalinya. Apa yang kita punya dulu memang indah, tapi mungkin tak seharusnya kita berpegang pada masa lalu.”
Rama mengangguk pelan, menerima setiap kata yang diucapkan Hanum meski ia tahu hal itu menyakitkan. Ia tahu, perpisahan mereka bukan karena cinta yang hilang, melainkan karena impian yang tak sejalan.
Namun, ketika Rama mendengar Hanum bahwa ia tak ingin kembali ke masa lalu, Rama menyadari bahwa ia harus merelakan sepenuhnya.
“Hanum…” Rama berbisik lirih. “Terima kasih sudah memberiku kesempatan, meski hanya sebentar. Mungkin ini adalah penutup yang kubutuhkan agar aku benar-benar bisa melangkah maju.”
Hanum tersenyum kecil, senyum yang tak dapat menyembunyikan luka di hatinya. “Kita mungkin tidak ditakdirkan untuk bersatu, Rama, tapi aku tidak pernah menyesal telah mencintaimu.”
Kata-kata Hanum malam itu seperti sebuah penutup, bukan hanya bagi Rama, tapi juga bagi dirinya sendiri. Di dalam hatinya, ia sadar bahwa cinta mereka bukanlah cinta yang akan menyatukan mereka di dunia ini. Tapi cinta itu tetap nyata, dan akan tetap menjadi bagian dari cerita hidupnya.
Rama berdiri, menatap Hanum untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi. Hujan mulai turun lagi di luar sana, tapi kali ini Hanum tidak merasa dingin. Sebaliknya, ia merasa seolah beban berat yang selama ini menghimpit hatinya perlahan menghilang.
Hanum melambaikan tangan, menyaksikan Rama pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. Ia tahu bahwa itu adalah momen perpisahan terakhir mereka, sebuah perpisahan yang benar-benar akan mengakhiri segala harapan dan mimpi tentang cinta yang tak mungkin mereka jalani bersama.
Malam itu, di tengah suara hujan yang kembali mengguyur, Hanum berjalan pulang dengan perasaan yang campur aduk.
Meski hatinya masih terasa nyeri, ia merasa lebih kuat. Ia tak lagi menginginkan mimpi tentang masa lalu yang tak bisa diwujudkan.
“Selamat tinggal, Rama,” bisiknya lirih. “Semoga kita bisa bahagia, meski tidak bersama.”
Di setiap langkahnya, Hanum melepaskan kenangan yang selama ini mengekangnya. Ia tahu, hidup harus terus berjalan.
Dan meski cinta tak selalu berarti bersama, ia tetap bersyukur pernah memiliki Rama dalam kisah hidupnya, sebagai bagian dari cerita yang kini berakhir dengan manis dan pahit.
Post a Comment