Malam itu, saat masih berada di tempat kerja, Mario menatap layar ponselnya. Jemarinya lincah menggulir ke arah galeri foto, memilih salah satu foto yang menurutnya cukup mesra.
Foto itu diambil saat ia dan istrinya, Karin, sedang menghadiri pesta pernikahan teman lama mereka. Dalam foto itu, mereka tersenyum lebar, tangan Mario melingkar di pinggang Karin, sementara itu Karin menyandarkan dirinya dengan manja kepada Mario. Seolah-olah, mereka adalah pasangan paling bahagia di dunia.
Itu hanya salah satu foto dari sekian banyak yang diunggahnya ke media sosial dan dijadikan sebagai profile picture, untuk memperlihatkan kepada dunia betapa harmonisnya hubungan mereka. Namun, hanya Mario yang tahu tentang pernikahannya.
Sebenarnya, rumah tangga Mario dan Karin sudah lama tak berjalan dengan baik. Karin selalu dingin dan kasar, lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah atau sibuk dengan bisnisnya. Mario, yang dulunya seorang karyawan biasa, memilih berhenti bekerja untuk mengurus rumah tangga dan mendukung usaha istrinya.
Awalnya, ia berpikir bahwa itu adalah keputusan yang tepat, sebuah pengorbanan yang akan memperkuat hubungan mereka. Tapi nyatanya, keadaan malah memburuk. Komunikasi di antara mereka kian merenggang, dan perhatian Karin terasa hilang.
Mario sering merasa seperti babu di rumahnya sendiri. Dia bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk Karin, tapi jarang ada ucapan terima kasih. Malam hari, mereka tak lagi mengobrol di meja makan seperti dulu.
Sebaliknya, Karin tenggelam dengan ponselnya, mengurus pekerjaannya, sementara Mario berusaha untuk tidak mempermasalahkan. Dia tahu, berargumen hanya akan memicu pertengkaran yang semakin memperburuk keadaan.
Namun, tak ada yang tahu itu semua. Bagi teman-teman mereka, Mario dan Karin adalah simbol kesuksesan. Pasangan muda yang cantik, kaya, dan selalu tampil serasi di setiap kesempatan. Media sosial mereka penuh dengan foto-foto liburan, acara mewah, dan senyuman palsu. Semuanya adalah sandiwara yang Mario mainkan demi menjaga sebuah ‘image’ keluarga.
Kenapa ia terus bertahan di dalam pernikahan yang jelas-jelas sudah beracun ini? Jawabannya sederhana, tapi menyakitkan: uang. Semua aset yang mereka miliki sudah atas nama Karin. Rumah besar mereka, mobil mewah, bahkan tabungan dan investasi, semuanya dikendalikan oleh istrinya.
Jika Mario memilih untuk bercerai, ia akan kehilangan segalanya. Ia akan keluar tanpa sepeser pun, tanpa tempat tinggal, tanpa pekerjaan. Dan di usianya yang sudah tak lagi muda, memulai dari nol terasa seperti mimpi buruk yang tak ingin ia hadapi.
Mario sering berpikir tentang perceraian. Bagaimana rasanya jika ia bisa keluar dari hubungan yang menjeratnya ini? Mungkin ia bisa hidup sederhana, tanpa harta dan kemewahan, tapi setidaknya ia akan mendapatkan kedamaian.
Namun, bayangan tentang menjadi 'kere' menghantuinya. Dia tidak punya apa-apa. Karin, yang semakin sukses dengan bisnisnya, adalah satu-satunya alasan mengapa hidupnya terlihat nyaman di mata orang lain. Sementara di balik layar, Mario hanyalah figur tambahan dalam kehidupan Karin yang gemerlap.
Sore itu, setelah mengunggah foto mesra mereka yang terbaru, Mario duduk di teras rumah, menyesap kopi dengan pandangan kosong. Pikirannya melayang-layang di antara keinginan untuk bebas dan ketakutan akan kehilangan. Dunia di luar sana hanya melihat kebahagiaannya yang palsu, sementara batinnya terus tersiksa dalam kebisuan.
Sebuah pesan masuk ke ponselnya, dari salah seorang temannya, Rian. "Bro, foto kalian manis banget! Kapan nih double date lagi?"
Mario tersenyum pahit, mengetik balasan, "Soon, bro! Kita atur lagi deh."
Tapi dalam hatinya, Mario tahu, ia sedang mengatur hidupnya sendiri. Setiap hari adalah perjuangan untuk menemukan jawaban: apakah tetap bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi kenyataan yang menyakitkan? Dan sampai kapan ia bisa terus bersembunyi di balik topeng harmoni ini?
Mario memandang ke luar, angin sore menghembus lembut, tapi ia merasa terjebak dalam badai yang tak kunjung reda.
Hari semakin gelap, dan Mario masih duduk di teras rumah, tenggelam dalam pikirannya. Suara Karin terdengar dari dalam rumah, memanggilnya dengan nada yang datar.
“Mario, aku mau keluar sebentar. Ada acara makan malam sama klien,” katanya tanpa menatapnya, mengambil tas dari meja.
Mario hanya mengangguk. Sudah terbiasa dengan sikap dingin itu, ia tak lagi berusaha mengajak bicara. Setelah Karin keluar dari rumah, suasana terasa lebih sepi, dan entah kenapa, Mario merasa lega.
Ia meneguk kopinya yang sudah dingin, lalu masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga, foto pernikahan mereka yang besar tergantung di dinding, memperlihatkan mereka yang dulu tampak bahagia. Di balik senyuman itu, Mario tahu ada banyak harapan yang kini hancur. Ia mengalihkan pandangannya, merasa tak sanggup lagi melihat kenangan yang hanya menambah beban pikirannya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenalnya. “Mario, aku tahu semua yang terjadi di rumah tanggamu. Kamu nggak perlu berpura-pura lagi.”
Mario terkejut. Siapa yang mengirim pesan ini? Dia melihat nomor itu lagi, memastikan ia tidak mengenalnya. Mungkinkah ini salah kirim? Tapi kalimat itu terasa terlalu tepat. Pikirannya langsung berputar, mencoba mengingat siapa saja yang mungkin tahu tentang masalah rumah tangganya. Mungkinkah ada teman yang tanpa sengaja melihat sesuatu? Atau mungkin Karin yang membicarakan masalah mereka dengan orang lain?
Penasaran dan sedikit panik, ia membalas, “Siapa ini?”
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan balasan. “Seseorang yang peduli. Kamu nggak sendirian, Mario. Aku bisa bantu kamu keluar dari situasi ini.”
Mario merasa semakin cemas. Siapa yang peduli padanya? Selama ini, ia selalu menjaga ‘image-nya’ dengan hati-hati, bahkan dari sahabat-sahabat terdekatnya. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu. Namun, pesan itu menggugah sesuatu dalam dirinya, sebuah harapan kecil bahwa mungkin, ada jalan keluar.
Malam itu, Mario tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi dengan pesan misterius itu, dan berbagai skenario berkecamuk di kepalanya. Apakah ini jebakan? Atau mungkin tawaran bantuan yang tulus? Di satu sisi, ia takut menerima uluran tangan dari seseorang yang tak dikenalnya. Namun, di sisi lain, ia semakin yakin bahwa ia tak bisa terus hidup seperti ini.
Pagi harinya, Mario bangun dengan mata lelah. Di meja makan, ia menemukan secarik kertas dari Karin, “Aku harus ke luar kota beberapa hari, urusan bisnis. Jangan lupa siram tanaman.” Begitu singkat, begitu jauh dari perhatian. Tidak ada kalimat 'jaga diri', tidak ada sapaan hangat, hanya instruksi. Ia meremas kertas itu, merasakan amarah dan frustrasi yang tertahan selama ini.
Ia kembali teringat pesan misterius itu. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya memberanikan diri mengirim pesan lagi, “Apa yang kamu tahu tentang rumah tanggaku?”
Tak lama kemudian, balasan datang, “Aku tahu bahwa kamu terjebak. Kamu merasa tidak punya pilihan karena semuanya atas nama istrimu. Tapi ada cara untuk membebaskan dirimu tanpa kehilangan segalanya.”
Mario membaca pesan itu berulang kali. Harapannya bangkit. “Bagaimana caranya?” tanyanya singkat.
Kali ini, pesan balasan datang lebih lama. “Bertemu denganku. Ada hal yang tidak kamu ketahui tentang harta kalian. Sesuatu yang bisa membebaskanmu tanpa membuatmu jatuh miskin.”
Mario termangu. Apakah ini mungkin? Apakah benar ada rahasia yang bisa membantunya keluar dari belenggu ini? Rasa ragu dan takut bercampur dengan rasa penasaran. Ia sudah terlalu lama berada dalam hubungan yang menyiksanya, dan kini, ada seseorang yang menawarkan jalan keluar.
Setelah beberapa saat berpikir, Mario mengetik balasan, “Kapan dan di mana kita bisa bertemu?”
Layar ponselnya menyala lagi. “Besok malam, di kafe tempat biasa kamu dan Karin dulu sering bertemu sebelum menikah. Jam delapan.”
Mario tersentak. Si pengirim pesan ini bahkan tahu tempat yang begitu personal bagi mereka. Dulu, kafe itu adalah tempat yang penuh kenangan manis. Mereka sering duduk berdua, merencanakan masa depan yang mereka kira akan penuh kebahagiaan. Namun, masa depan yang diimpikan itu kini terasa seperti ironi.
Esok malamnya, Mario datang dengan cepat. Dengan mengendarai mobilnya menuju kafe, dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ada harapan bahwa ini adalah kesempatan untuk melepaskan diri, tapi di sisi lain, ketidakpastian membayangi langkahnya. Siapa orang ini, dan apa yang dia ketahui?
Saat tiba di kafe, Mario melangkah masuk, matanya menyapu ruangan yang dulu terasa begitu akrab. Di sudut ruangan, duduk seseorang yang mengenakan topi, wajahnya setengah tertutup bayangan. Mario mendekat, jantungnya berdetak kencang. Orang itu mengangkat kepalanya, dan Mario tertegun.
Orang yang duduk di depannya bukanlah orang asing, itu adalah sosok yang tak pernah ia duga.
“Sudah lama, Mario?” kata sosok itu dengan senyuman yang tidak bisa ditebak. “Aku tahu rahasia Karin. Dan aku di sini untuk membantumu.”
—----------------------------------------------------Next Part II—-----------------------------------------------------
Post a Comment