Maya, perempuan yang dulu menjadi idola dan idaman banyak pria, kini menjadi sosok yang berbeda. Kata-katanya kasar, suaranya keras, bahkan tak jarang ringan tangan kepada suaminya, Satria. Meskipun begitu, Satria tetap bertahan dalam pernikahannya. Ia benar-benar takut kehilangan Maya, perempuan yang membuat banyak orang iri padanya. Baginya, Maya adalah keberuntungannya, hadiah dari semesta yang tak mungkin ia lepaskan.
Satria memang lelaki yang lemah dan rapuh. Tak mungkin bisa mendapatkan perempuan seperti Maya, jika ia melepaskannya.
Pagi itu, suara piring pecah terdengar dari dapur. Satria segera bergegas, menemukan Maya yang berdiri dengan wajah marah. “Apa yang kau lakukan, Satria? Kenapa semua ini berantakan?” bentak Maya sambil memukul kepala Satria.
Satria hanya bisa menunduk, mencoba menenangkan diri. “Maaf, Maya. Aku akan membereskan semuanya,” jawabnya lembut.
Maya mendengus, lalu meninggalkan dapur. Satria menghela napas panjang, lalu mulai membersihkan pecahan piring di lantai. Baginya, ini bukan kali pertama. Setiap hari, ia harus menghadapi kemarahan Maya. Namun, cinta dan rasa takut kehilangannya membuat Satria tetap bertahan, meskipun ia tersiksa.
Di tempat kerja, rekan-rekannya sering kali bertanya-tanya mengapa Satria tetap bersama Maya. Mereka tahu Maya bukanlah perempuan yang mudah, tapi mereka tak pernah tahu seberapa keras Satria mencoba mempertahankan rumah tangganya. “Satria, kau itu suami atau pembantu?”, celetuk salah satu rekan kerjanya suatu hari.
Satria hanya tersenyum kecut. Baginya, mempertahankan rumah tangga adalah sebuah kebanggaan. Ia percaya, di balik kekerasan dan kata-kata kasar Maya, masih ada cinta yang tersisa. Namun, semakin lama, hatinya semakin lelah.
Suatu malam, setelah pertengkaran yang hebat, Satria duduk di teras rumah. Angin malam yang dingin tak mampu menyejukkan hatinya yang penuh luka. Ia menatap bintang-bintang di langit, mencoba mencari jawaban. “Apakah aku salah?” bisiknya pada malam.
Malam itu, Satria memutuskan untuk berbicara dengan Maya. “Maya, aku mencintaimu. Tapi aku tak bisa terus hidup seperti ini. Kita perlu bicara,” katanya dengan suara bergetar.
Maya hanya menatapnya dingin. “Apa lagi yang mau dibicarakan? Semua ini salahmu, Satria. Kau yang membuatku marah,” jawabnya tajam.
Satria mencoba menahan air mata yang hendak jatuh. “Maya, aku hanya ingin kita bahagia. Jika ada yang salah, mari kita perbaiki bersama. Aku tak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tak bisa terus disakiti,” ucapnya penuh harap.
Maya terdiam sejenak, lalu berbalik. “Aku jijik denganmu setelah terjadinya peristiwa itu, Satria. Sekarang, kamu tidurlah,” katanya, meninggalkan Satria sendirian di ruang tamu.
Malam itu, Satria tak bisa tidur. Pikirannya berkelana, mencari jalan keluar. Ia tahu, cintanya pada Maya begitu besar, tapi ia juga harus mencintai dirinya sendiri. Di saat fajar mulai menyingsing, Satria akhirnya mengambil keputusan. Ia akan memberikan ruang bagi dirinya dan Maya untuk berpikir. Mungkin, dengan jarak, mereka bisa menemukan kembali cinta yang hilang.
Esok harinya, Satria meninggalkan rumah dengan sebuah surat. Ia menulis, “Maya, aku mencintaimu lebih dari apapun. Tapi aku butuh waktu untuk menyembuhkan luka-luka ini. Aku berharap, suatu saat kita bisa kembali bersama dengan hati yang lebih baik. Selamat tinggal sementara.”
Satria pergi dengan hati yang berat, namun ada secercah harapan. Mungkin, dengan waktu dan jarak, Maya akan menyadari betapa berartinya cinta mereka. Dan mungkin, bintang yang redup itu akan kembali bersinar.
Namun, ternyata upaya untuk memperbaiki hubungan mereka adalah sia-sia, Maya semakin menuntut banyak hal dari Satria. Ia ingin Satria bisa memasak, membersihkan rumah, dan melakukan semua hal yang ia anggap sebagai kewajiban suami yang ideal. Namun, Satria bukanlah sosok yang bisa memenuhi semua harapan Maya.
Hari demi hari, Maya semakin frustrasi melihat ketidakmampuan Satria untuk berubah. Pertengkaran pun kembali mewarnai rumah tangga mereka. “Satria, kenapa kau tak bisa melakukan hal-hal sederhana seperti ini? Aku ingin suami yang bisa membantuku, bukan yang hanya menjadi beban,” keluh Maya suatu malam.
Satria menunduk, merasa tak berdaya. Ia telah mencoba yang terbaik, tapi selalu merasa kurang di mata Maya. “Maya, aku mencintaimu dan aku sudah berusaha. Tapi mungkin aku memang tak bisa memenuhi semua harapanmu,” jawabnya lirih.
Ketegangan semakin memuncak hingga akhirnya Maya memutuskan untuk pergi. Ia merasa lelah dan yakin bahwa kebahagiaan tak akan bisa ia temukan dalam pernikahan ini. “Aku tidak bisa terus hidup seperti ini, Satria. Aku akan pergi dan mencari kebahagiaan yang sebenarnya,” ujarnya tegas.
Satria hanya bisa mengangguk dengan hati hancur. Ia tahu bahwa cintanya tak cukup untuk membuat Maya bahagia. “Semoga kau menemukan apa yang kau cari, Maya. Aku hanya ingin kau bahagia,” kata Satria, meski hatinya penuh luka.
Setelah kepergian Maya, Satria merasa dunianya runtuh. Namun, ia tahu harus bangkit dan melanjutkan hidup. Dengan dukungan keluarga dan teman-temannya, Satria perlahan mulai menyusun kembali serpihan hidupnya yang berserakan. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan Maya.
Tak lama setelah itu, Satria mendengar kabar bahwa Maya telah menikah lagi dengan pria yang menurutnya sesuai dengan harapannya. Satria perasaannya campur aduk, antara lega dan sedih. Ia berharap Maya benar-benar menemukan kebahagiaan yang diidamkannya.
Waktu berlalu, dan Satria mulai menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Ia belajar memasak untuk dirinya sendiri, menikmati waktu bersama teman-teman, dan menemukan hobi baru seperti berkebun.
Kini, Satria menikmati kesendirian di malam yang penuh bintang-bintang. Satria selalu berharap dapat menemukan sosok Maya yang lain ke depannya.
Post a Comment