aprilhatni.com
aprilhatni.com

Pura-pura Cinta

cerpen tentang cinta
Di sebuah kota kecil yang tenang, ada seorang wanita bernama Maya. Maya adalah seorang penulis muda yang penuh dengan imajinasi. Karyanya banyak bercerita tentang cinta yang tulus dan sejati, namun ironisnya, ia sendiri belum pernah merasakan cinta yang sebenarnya. Baginya, cinta adalah sesuatu yang abstrak, indah di atas kertas namun tak pernah nyata dalam hidupnya.

Suatu hari, saat sedang duduk di kafe favoritnya, Maya bertemu dengan seorang pria bernama Ardi. Ardi adalah seorang fotografer yang baru saja pindah ke kota itu. Perkenalan mereka terjadi secara tak sengaja ketika Ardi menumpahkan kopinya di meja Maya.

“Maafkan saya!” seru Ardi panik sambil mengambil tisu untuk membersihkan kopi yang tumpah.

Maya hanya tersenyum. “Tidak apa-apa. Kebetulan saya sedang tidak membawa laptop, jadi tidak ada yang rusak.”

Percakapan sederhana itu tumbuh menjadi pertemanan. Mereka sering bertemu di kafe itu, berbicara tentang seni, buku, dan kehidupan. Maya merasa nyaman dengan Ardi, begitu pun sebaliknya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Maya bisa berbicara tanpa rasa takut atau malu. Namun, Maya tahu bahwa ia tak boleh terburu-buru. Rasa takut untuk jatuh cinta membuatnya selalu berhati-hati.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman kota, Ardi memandangi langit malam yang bertabur bintang. “Maya,” kata Ardi tiba-tiba, “pernahkah kamu berpikir tentang cinta?”

Maya terkejut dengan pertanyaan itu. “Sering, tentu saja. Tapi bagiku, cinta itu seperti misteri yang sulit dipecahkan.”

Ardi tersenyum. “Aku ingin mencoba sesuatu. Bagaimana kalau kita pura-pura cinta?”

Maya mengerutkan kening. “Pura-pura cinta? Maksudmu?”

“Kita berpura-pura menjadi pasangan kekasih. Bukan untuk selamanya, hanya untuk beberapa waktu. Kita lihat ke mana ini akan membawa kita.”

Maya terdiam sejenak. Ide itu terdengar aneh, namun juga menarik. Akhirnya, dengan sedikit ragu, ia setuju. “Baiklah, kita coba.”

Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Mereka menjalani kehidupan sebagai pasangan kekasih. Jalan-jalan di taman, makan malam romantis, bahkan merayakan ulang tahun bersama. Maya merasa bahagia, meskipun ia tahu bahwa semuanya hanyalah pura-pura.

Namun, di balik kepura-puraan itu, Maya mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Hatinya berdebar setiap kali bersama Ardi. Senyum dan tawanya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya. Maya mulai bertanya-tanya, apakah ini masih pura-pura atau perasaan sebenarnya yang mulai tumbuh di hatinya?

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di tepi pantai kota sambil memandang skyline, Ardi menatap Maya dengan serius. “Maya, aku harus jujur. Awalnya aku hanya ingin kita berpura-pura, tapi sekarang aku sadar bahwa perasaanku padamu nyata. Aku mencintaimu.”

Maya terkejut. Air matanya mulai mengalir tanpa disadari. “Ardi, aku juga merasakan hal yang sama. Aku takut untuk jatuh cinta, tapi kamu membuatku merasa bahwa cinta itu nyata.”

Mereka saling berpandangan, lalu tersenyum. Malam itu, di bawah sinar bulan yang lembut, Maya dan Ardi menyadari bahwa cinta yang mereka jalani selama ini bukanlah pura-pura. Perasaan mereka tulus dan nyata.

Cinta, yang awalnya hanya sebuah permainan, berubah menjadi kenyataan yang indah. Maya dan Ardi memutuskan untuk menjalani hidup bersama, tidak lagi berpura-pura, tapi dengan cinta yang sebenarnya.

Hari-hari berlalu dengan kebahagiaan. Maya dan Ardi menikmati setiap momen yang mereka habiskan bersama. Mereka saling mendukung dalam pekerjaan masing-masing, saling menginspirasi dan menguatkan.

Namun, seperti kata pepatah, kehidupan tak selamanya mulus. Suatu hari, Maya mendapat tawaran dari penerbit besar di Jakarta untuk menerbitkan novelnya. Ini adalah impiannya sejak lama, namun dengan tawaran ini berarti ia harus pindah ke Jakarta dan meninggalkan kota kecil tempat ia menemukan cinta.

Maya merasa bimbang. Ia sangat mencintai Ardi, namun kesempatan ini adalah sesuatu yang tak bisa dilewatkan. Di sisi lain, Ardi juga mendapat tawaran untuk proyek fotografi di luar negeri. Mereka berdua dihadapkan pada pilihan sulit antara karir dan cinta.

“Apa yang harus kita lakukan, Ardi?” tanya Maya dengan suara pelan saat mereka duduk di bangku taman tempat mereka sering menghabiskan waktu bersama.

Ardi menatap Maya dengan lembut. “Aku tidak ingin kita terpisah, Maya. Tapi aku juga tahu betapa pentingnya kesempatan ini untukmu. Aku ingin kamu mengejar impianmu.”

“Dan bagaimana dengan impianmu?” Maya balik bertanya.

Ardi menghela napas. “Aku juga ingin mengambil proyek itu. Ini adalah kesempatan besar untukku. Tapi aku tidak bisa membayangkan hidup tanpamu.”

Mereka terdiam, memandang bintang-bintang yang bersinar di langit. Keputusan ini adalah yang terberat yang pernah mereka hadapi.

“Kita bisa mencoba hubungan jarak jauh,” ujar Maya akhirnya. “Jika cinta kita memang kuat, kita akan bertahan.”

Ardi mengangguk pelan. “Aku setuju. Kita harus mencoba. Cinta kita layak diperjuangkan.”

Mereka saling berpelukan, berharap bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk masa depan mereka.

Waktu berlalu, dan Maya pindah ke Jakarta sementara Ardi berangkat ke luar negeri. Mereka tetap berhubungan melalui telepon, video call, dan pesan singkat. Namun, jarak dan kesibukan masing-masing membuat hubungan mereka semakin sulit.

Suatu malam, saat sedang menulis di apartemennya, Maya menerima pesan dari Ardi. Isinya singkat namun penuh makna.

“Maya, aku rindu. Tapi aku juga tahu bahwa kita berdua sedang mengejar impian kita. Mungkin kita perlu waktu untuk fokus pada diri sendiri. Aku tidak ingin ini menjadi akhir, tapi mungkin kita perlu jeda.”

Maya menatap layar ponselnya dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa keputusan ini mungkin yang terbaik, namun tetap saja menyakitkan.

“Ardi, aku mengerti. Kita butuh waktu. Aku akan selalu mencintaimu.”

Hubungan mereka berakhir dengan kesepakatan untuk fokus pada impian masing-masing. Meskipun perasaan cinta itu tetap ada, mereka memilih untuk mengejar karir dan tujuan hidup mereka.

Beberapa tahun kemudian, Maya menjadi penulis terkenal dengan beberapa novel best-sellernya. Sementara itu, Ardi menjadi fotografer internasional yang karyanya diakui di berbagai negara.

Suatu hari, saat sedang menghadiri pameran buku di Paris, Maya melihat sebuah galeri foto yang menampilkan karya-karya Ardi. Dengan hati berdebar, ia memasuki galeri itu.

Di sana, ia melihat foto-foto indah yang diambil Ardi dari berbagai belahan dunia. Di sudut galeri, ada satu foto yang membuatnya tertegun. Foto itu adalah potret dirinya, diambil secara diam-diam oleh Ardi saat mereka duduk di bangku taman kota kecil mereka.

“Maya?”

Suara yang familiar membuatnya berbalik. Ardi berdiri di sana, tersenyum dengan mata yang masih sama penuh cinta.

“Ardi...” Maya terkejut dan bahagia.

Mereka saling mendekat, menghapus jarak yang memisahkan selama ini.

“Aku selalu mencintaimu, Maya. Tidak pernah ada yang berubah.”

Maya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Aku juga selalu mencintaimu, Ardi.”

Di kota yang romantis itu, Maya dan Ardi menemukan kembali cinta mereka. Kali ini, tidak ada lagi kepura-puraan, hanya cinta yang tulus dan nyata. Mereka tahu bahwa meskipun perjalanan mereka berliku, cinta sejati akan selalu menemukan jalannya.

Post a Comment