Membentuk Pribadi Anak yang Berpengaruh
Dari sisi teori perkembangan anak, membangun dan membentuk ego serta individualitas dilakukan terlebih dahulu, sebelum membangun ketangguhan, baik fisik maupun jiwa.
Ini sangat menarik dan menantang, karena Indonesia merupakan suatu bangsa yang sangat mudah terpengaruh di muka bumi “The most suggestable people in the World”.
Mendidik kepribadian anak yang berpengaruh dan mempengaruhi, bukan terpengaruh dan dipengaruhi, adalah sebuah tantangan dan perjuangan yang luar biasa.
Begitu mudahnya bangsa ini terpengaruh sehingga kita adalah sebuah bangsa yang begitu mudahnya latah, kesurupan, dihipnotis, bahkan disihir.
Dalam literatur ilmiah fenomena latah hanya terjadi di Asia Tenggara, dan pengidap terbesarnya adalah Indonesia, khususnya Jawa Barat.
Saat ini fenomena kesurupan tidak lagi bersifat individual, bahkan telah ada fenomena kesurupan massal. Seakan-akan pekerjaan bangsa jin untuk merasuki bawah sadar anak Indonesia menjadi begitu mudahnya; satu dirasuki, sisanya menular kepada yang lain.
Hipnotisme terhadap bangsa ini tak perlu lagi dilakukan dengan menguak alam bawah sadarnya. Itu bisa dilakukan dalam kesadaran anak manusia Indonesia. Hal ini yang menyebabkan kenapa berbagai macam hipnotisme begitu laku di Indonesia mulai dari hypnomarketing, hypnoteaching, hypnoparenting dan sebagainya.
Begitu mudahnya bangsa ini terpengaruh, sehingga mantan pecandu narkoba yang telah dipulihkan melalui sejumlah detoksifikasi dan rehabilitasi 94% diantaranya akan kembali menjadi pecandu, karena faktor sugesti alias terpengaruh.
Ini bermula dari lemahnya ego dan individualitas anak-anak Indonesia. Mereka tidak memiliki “AKU” yang kuat. Mereka tidak memiliki konsep tentang diri yang utuh.
Akibatnya, mereka tumbuh sebagai anak-anak yang tak percaya diri, dipengaruhi bukan memengaruhi, tak berani tampil beda, tak berani “tandang ke gelanggang walau seorang”, tak berani berkata “TIDAK!” dan seterusnya.
Lemahnya Ego dan Individualitas
Lemahnya ego dan individualitas anak-anak Indonesia ini disebabkan oleh sejumlah faktor, diantaranya;
1. Pola Asuh yang Keliru
Dimana secara dini anak-anak Indonesia justru dituntut untuk memiliki keterampilan bersosialisasi. Bahkan tuntutan itu telah terjadi sejak usia dini, usia di mana seharusnya manusia belajar individuasi bukan sosialisasi.
2. Lemahnya Pengaruh Ayah dalam Pendidikan Anak
Lemahnya pengaruh ayah dalam pendidikan anak, sehingga pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh pola asuh dan gaya asuh seorang ibu semata. Kita sama-sama tahu bahwa kecenderungan seorang ibu ada pada pendidikan sosiabilitas.
Sedangkan kecenderungan seorang ayah ada pada pendidikan individualitas. Karena sang ayah Itulah sang ego. Sang ayah Itulah sang individualis.
Sayangnya ayah itu telah pergi entah kemana. Indonesia tahun ini telah menjadi “The Fatherless Country” ranking ke-2 di dunia (padahal tahun lalu masih ranking ke-3).
Pun yang tak dapat kita lupakan adalah kultur masyarakat kita yang sangat komunalistik, sehingga memuja berlebihan kemampuan sosial dan melupakan serta mengabaikan kemampuan Individual.
Ketika kita melahirkan anak-anak yang mudah terpengaruh, bukan berpengaruh dan mempengaruhi, maka ajaran kebaikan apapun yang kita ajarkan kepada anak-anak kita, toh akan mudah hilang dalam pergaulannya. Karena ia akan dipengaruhi oleh lingkungan teman-temannya yang buruk dan negatif.
Dia akan dipengaruhi oleh perilaku, sikap, dan ucapan lingkungannya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Ia tak bisa mempengaruhi lingkungan, melainkan dipengaruhi oleh lingkungan. Setiap kebaikan yang diajarkan kepadanya pada pagi hari, maka akan hilang ketika ia kembali ke rumah pada sore hari.
Menumbuhkan Ego dan Individualitas Anak
Jika kita ingin membentuk anak-anak yang berpengaruh, langkah mutlak yang harus kita lakukan adalah tumbuhkan Ego dan Individualitas anak pada waktu yang tepat, yaitu sebelum anak berusia 7 tahun.
Karena anak-anak yang berusia di bawah 7 tahun adalah anak- anak yang memang sedang dalam tahap pengembangan konsep diri, cenderung egosentris.
Dia menganggap bahwa alam semesta mengelilingi dirinya. Keakuanya begitu kuat, cenderung negativistik dan sebagainya.
Perlakukanlah anak-anak pada usia ini benar-benar sebagai individu yang utuh, lain dengan yang lain, walaupun dia memiliki banyak saudara.
Berikan dia nama yang khas...
Berikan dia pakaian yang memang cocok dengan dirinya...
Berikan masing-masing anak kita panggilan panggilan kesayangan yang unik...
Perlakukan tiap-tiap anak sebagai anak-anak istimewa...
Jangan perlakukan mereka semata-mata sebagai sebuah statistik.
Seringnya orang tua mengatakan kepada anaknya:
“Kalian sama di mata kami”
Namun pada anak usia tersebut justru yang harus dikatakan adalah:
“Setiap kalian berbeda dan istimewa di mata kami”
Pada anak berusia di bawah 7 tahun, biarkan mereka berkembang dengan ego dan individualitasnya masing-masing, walaupun itu akan menyebabkan mereka menjadi cenderung mudah bertengkar, ingin menang sendiri, saling berebut dengan saudara-saudara mereka.
Terkadang pengembangan ego dan individualitas menyebabkan mereka seperti cenderung melawan keinginan keinginan ayah bundanya. Tapi pada usia di bawah 7 tahun itu adalah wajar.
Ini adalah bagian dari pembentukan jati diri. Kemampuan untuk menolak keinginan orang tuanya akan menjadi modalitasnya kelak untuk menolak keinginan-keinginan lingkungan yang negatif, untuk mampu berkata tidak terhadap hal-hal yang bathil.
Dan jangan lupa, pada anak berusia di bawah 7 tahun belum saatnya diajarkan untuk berbagi. Biarkan mereka memiliki kesadaran akan hak properti, akan hak milik.
Bahwa ini punyaku dan bukan punyamu. Bahwa aku berhak untuk berbagi mainan denganmu, dan aku juga berhak untuk tidak berbagi mainan denganmu.
Seolah-olah ini adalah sebuah ajaran tentang Egoisisme. Namun bukan, ini pada dasarnya adalah pendidikan kesadaran tentang aku dan hak milik.
Karena belakangan ini betapa banyaknya orang-orang di usia dewasa tak mampu lagi memelihara diri, harga diri, kehormatan diri dan hak-hak pribadi. Termasuk bagian-bagian tubuhnya yang sensitif, khususnya kemaluannya.
Referensi:
Kuliah WhatsApp Ustadz Adriano Rusfi
Post a Comment