Resume Kulwhap Kesehatan Mental dan Covid-19
Oleh Aprilia Prihatini
Kuliah WhatsApp (Kulwhap) dengan tema "Kesehatan Mental dan Covid-19" ini diselenggarakan oleh Komunitas Ibu-ibu QP Mesaieed, Qatar (QP Mesaieed Ladies) dan berlangsung pada Rabu, 1 April 2020, pukul 15:00-17:30 waktu setempat.
Pada sesi pertama (opening) sebelum masuk materi, Narasumber bertanya kepada semua peserta terkait perasaan yang dirasakan saat itu kemudian diminta untuk menuliskannya di kolom chat, seperti:
Saya Galau, atau
Saya Semangat, atau
Saya lelah tapi bahagia, atau
Saya bingung, atau
Saya cemas, atau
dan lain sebagainya
Beragam jawaban dari para peserta, namun mayoritas peserta menjawab punya perasaan cemas saat itu.
Kemudian Narasumber memberikan waktu/jeda/ruang kepada semua peserta untuk melakukan relaksasi terkait dengan perasaannya tadi.
Ijinkan saya mengajak Anda untuk melakukan JEDA atau PAUSE
JEDA atau PAUSE adalah berhenti sejenak (Time Out)
Belakangan ini, dengan krisis yang kita hadapi terkait COVID-19, ada banyak ketidakpastian yang kita hadapi. Teman-teman mungkin dihadapkan pada situasi yang tidak biasa. Fokus Anda lebih banyak pada orang-orang terdekat atau orang yang Anda cintai.
Dan kapan Anda fokus pada diri Anda sendiri?
Menyapa kabar diri... Menjumpai diri...
Mengucapkan terima kasih pada tubuh yang membersamai Anda sekian tahun. Meminta maaf pada tubuh, mungkin Anda lalai memberinya waktu istirahat.
Menanyakan kabar diri. Apa yang sebenarnya kupikirkan? Apa perasaanku sebenarnya? Dan dialog lain pada diri.
Karena Anda berdialog pada diri...please...jujurlah.
Ijinkan pikiran dan perasaan apapun datang, dan ijinkan pikiran serta perasaan itu pergi. Ada ragam reaksi saat pause. Beberapa sambil tersenyum, beberapa bisa menitikkan air mata dan lainnya. Teman-teman...semua respon diijinkan dalam pause ini.
Anda cukup pejamkan mata, tapi tidak tidur. Rilekskan semua tubuh Anda. Lepaskan tangan dari benda-benda. Dan fokuskan pada nafas yang masuk dan keluar dari hidung.
------
Ijinkan saya memutar murattal selama 4 menit untuk mengiringi JEDA Anda. Dan nanti saat musik berhenti, Saya persilahkan Anda membuka mata.
Putarlah link ini, nikmati surat cinta dariNya ini dan duduk dengan rileks.
Kendorkan otot yg menegang.
Pejamkan mata...dan katakan... Aku ijinkan tubuhku untuk rileks!
QS Ar Rahman
|
Setelah diputarkan murottal di atas mayoritas peserta merasakan lebih nyaman, tenang dan rileks daripada sebelumnya.
A. Sesi Inti (Materi)
Mengapa menjaga kesehatan mental pada situasi saat ini ternyata sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik?
Menurut hasil penelitian, cemas dan stres berlebihan dapat menurunkan sistem imun dan menyebabkan seseorang mudah terkena penyakit lho! Jadi untuk situasi pandemic saat ini, penting sekali bagi kita memiliki keterampilan mengelola stress.
Slide di atas adalah gambar siklus pikiran. Dari situ bisa terlihat bahwa apa yang kita pikirkan akan memberi pengaruh, baik langsung maupun tidak kepada perasaan, tubuh, bahkan perilaku kita.
Maka, jika kita berpikir negatif, kita bisa kemudian merasa khawatir, takut dan cemas, tubuh yang mungkin gemetar, jantung berdebar yang juga bisa mempengaruhi perilaku kita. Misalnya: jadi mudah marah, sangat sensitive, lalu mungkin mengalami sulit tidur atau sebaliknya ingin tidur terus, hilang nafsu makan atau sebaliknya jadi ingin makan terus. Kalau sudah seperti ini bisa jadi kinerja kita dalam mengerjakan tugas sehari-hari bisa terganggu.
Slide di atas adalah hasil kuesioner yang telah diisi oleh peserta beberapa jam sebelum Kulwhap berlangsung. Ada 5 kategori. Total skor menunjukkan apakah kecemasan yang kita miliki pada kategori ringan, sedang, berat, atau kecemasan yang kita alami masih masuk dalam kategori kecemasan yang normal dialami.
Lalu, pada slide di atas kita bisa mengetahui bahwa dari 86 responden yang mengisi kuesioner, kecemasan yang paling banyak dialami oleh responden adalah Kecemasan ringan, yaitu 62%. Selanjutnya adalah kecemasan sedang, sebanyak 17%, lalu kecemasan yang normal sebanyak 16% dan terakhir kecemasan berat sebanyak 5%. Dari sini kita bisa mengetahui bahwa sebagian besar dari peserta yang mengisi kuesioner ternyata mengalami kecemasan dengan tingkatan yang berbeda-beda.
Pada slide 7 ini, kita bisa melihat hubungan antara usia responden dengan tingkat kecemasan yang dialami. Disini terlihat bahwa untuk peserta (ibu-ibu) yang berusia di bawah 30 tahun dan yang berusia di atas 50 tahun mempunyai kesamaan (hanya mengalami kecemasan ringan). Menarik ! Mungkin harus ada penelitian lanjutan mengenai hal ini!
Sedangkan untuk usia 30 – 39 tahun dan 40 – 49 tahun, semuanya memiliki tingkat kecemasan yang beragam, dengan kesamaan bahwa 2 kategori usia tersebut sama-sama memiliki tingkat kecemasan ringan yang dominan dialami oleh para respondennya.
Sekarang kita masuk pada bahasan mengenai fakta kerja otak, yang ternyata seringkali otak emosi kita bekerja lebih cepat dan membajak otak rasional kita sehingga respon yang kita berikan sangat reaktif sifatnya.
Lalu, untuk mengatasi masalah tersebut, maka yang bisa kita lakukan adalah dengan menciptakan “ruang” setiap kali sebelum kita bertindak. Bagaimana caranya? Bisa dilihat beberapa contoh caranya pada slide di atas.
“Ruang” ini gunanya adalah memberi kesempatan kepada otak logika kita untuk mempertimbangkan, memilih, memilah dan memberi keputusan yang lebih rasional sehingga kita pun menjadi lebih tenang.
Di slide ini ada infografis yang cukup bagus dari Kampoong Hening mengenai self healing. Kita bisa melihat dan bisa menjadikan 1 acuan untuk membuat diri kita lebih tenang sehingga imunitas kita bisa meningkat.
Dalam Psikologi dikenal ungkapan : “reaksi normal terhadap situasi abnormal”. Apa maksudnya? Yaitu adanya reaksi yang normal terhadap situasi yang berubah dari biasanya. Misalnya situasi saat bencana, atau situasi seperti sekarang yaitu saat adanya wabah besar yang banyak menelan korban.
Jadi, bila saat ini kita kemudian merasa cemas, tidak bisa tidur, sulit konsentrasi, gelisah, itu sebenarnya adalah hal yang sangat wajar dan normal. Inilah yang dinamakan Kecemasan normal jika kita merujuk pada kuesioner di atas. Lalu, apa yang bisa kita lakukan bila kita merasa cemas seperti ini? Kita bisa melihat pada slide di atas ya! Disitu cukup jelas.
Dalam slide ini dibahas apa yang bisa dilakukan jika seseorang tertular atau menjadi pasien Covid-19. Tentunya kita tetap berprasangka baik kepada Allah bahwa kita akan selalu dilindungi NYa. Namun, bila Allah menetapkan bahwa kita termasuk salah satu pasien dengan Covid-19 maka tentunya kita harus terus berusaha menata diri, karena ini bukan hal yang mudah, namun semangat, juga optimisme dan prasangka baik kepada ALLAH tentunya bisa menjadi salah satu obat mujarab bagi kesembuhan. Aamiin yaa Allah…
Yang perlu kita perhatikan adalah untuk berhati-hati menjaga lisan dan perilaku karena pastinya kondisi beliau sangat tidak menyenangkan. Tidak perlu memberikan banyak komentar atau nasihat jika tidak diminta. Jika beliau curhat, cukup dengarkan dengan baik, dan tanyakan apa yang bisa dibantu untuk membuatnya lebih tenang dan nyaman. Itu saja sudah cukup.
Karena menerima diagnosis untuk pertama kali bukan hal yang mudah, dan pastinya itu akan membuat pasien lebih sensitive dan emosional.
Kalau ada keluarga atau teman yang curhat karena cemas bagaimana? Apa yang harus kita lakukan? Tentunya kita sangat bisa membantu mereka agar mereka bisa menjadi lebih tenang dan nyaman. Namun, kita juga perlu hati-hati dan memperhatikan kondisi emosional kita sendiri.
Kalau saat itu kita sendiri sedang merasa tidak nyaman dengan perasaan kita, maka kita bisa me-reschedule jadwal curhatnya sampai kita sendiri merasa tenang dan siap menerima curhatan. Mengapa begitu? Karena emosi itu “menular”. Ketika teman kita curhat karena cemas, maka kita memiliki peran besar untuk menularkan emosi tenang dan nyaman, bukan sebaliknya.
Slide di atas adalah tips bagaimana menjaga kesehatan mental kita selama adanya kebijakan physical distancing atau karantina atau lockdown seperti yang sudah dilakukan oleh pemerintah Qatar.
Mengenai poin 8, yaitu agar kita fokus pada hal-hal yang bisa dikontrol maksudnya adalah, bahwa tidak bisa dipungkiri ada beberapa hal yang tidak mungkin kita kontrol yang itu adalah hak ALLAH. Misalnya : memberi sakit dan menyehatkan.
Namun kita tetap bisa memberi respon pada hal-hal yang bisa kita kontrol. Misalnya menyempurnakan ikhtiar kita agar terhindar dari wabah ini dengan melakukan hal-hal yang sudah dianjurkan para ahli, yaitu dokter juga mematuhi kebijakan pemerintah, yaitu dengan : mencuci tangan secara teratur, menghindari menyentuh wajah, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, menutup mulut dengan siku saat bersin, memakai masker dan memberi jarak minimal 1 meter saat harus keluar, tinggal di rumah saja, tidak melakukan kumpul-kumpul apapun alasannya, tidak mudik, dan lain-lain.
Dengan mematuhi hal-hal tersebut, berarti kita telah berusaha menaati ALLAH, Rasulullah dan juga Pemimpin kita.
Bila ada diantara ibu-ibu di sini yang menjadi Nakes yang diamanahkan untuk merawat pasien dengan Covid-19, maka usahakan untuk melakukan tips di atas.
Jika Anda merasa stress, khawatir, cemas, itu bukan berarti Anda tidak cakap atau lemah dalam pekerjaan Anda. Bila Anda merasa lelah secara mental, Anda juga berhak dan perlu meminta jeda karena dalam kondisi saat ini mengelola kesehatan mental sama pentingnya seperti mengelola kesehatan fisik.
B. Sesi Interaktif (diskusi/tanya jawab)
No
|
Pertanyaan
|
Jawaban
|
1
|
Bagaimana cara kita melakukan afirmasi positif jika kita sakit kemudian dikarantina? Padahal kita mempunyai keyakinan, dengan bersama-sama orang tercinta kita akan lebih bersemangat untuk sembuh.
|
Yang bisa kita lakukan diantaranya adalah dengan mengetahui dan menyadari bahwa karakteristik dari virus baru ini ternyata memiliki daya tular yang luar biasa cepat. Namun, di sisi lain karena ini virus, maka sifatnya sama seperti virus flu lainnya, dimana tubuh yang fit merupakan modalitas yang sangat besar bagi pasien untuk sembuh.
Jadi, contoh afirmasi positif yang bisa kita ucapkan adalah :
Ya Allah yang Maha Baik dan Maha Penyembuh... In syaa Allah dengan Saya melakukan karantina dan mematuhi semua saran medis, maka itu artinya saya berusaha untuk sembuh dan sayang kepada keluarga saya.
Engkau Maha Penjaga, maka Engkau lah yang akan menjaga keluarga Saya selama Saya melakukan karantina ini karena sungguh, Engkau lah sebaik-baik penjaga.
|
2
|
Bagaimana menyikapi dan menanggapi rasa cemas yang berlebihan pada suami, karena sejak ada case Covid-19 ini suami saya selalu merasa cemas yang berlebihan?
Contoh kecil: anak-anak tidak diperbolehkan untuk pesan makanan di luar dan setiap saya memberi tanggapan untuk positif thinking pasti ujungnya marah.
|
Sikap suami yang demikian sepertinya membuat ibu juga tertular cemasnya ya?
Bisa sangat dipahami bu...
Salah satu cara yang bisa Ibu lakukan adalah dengan cara reframing, yaitu mengganti makna mengenai sikap suami dengan makna lain yang lebih positif dan memberdayakan.
Misalnya, kalau sebelumnya Ibu memaknai sikap suami sebagai cemas yang berlebihan, maka Ibu bisa menggantinya dengan : sikap suami tersebut adalah bukti bahwa suami sangat ingin melindungi keluarga. Karena bisa jadi, makanan di luar memang belum tentu terjamin kebersihannya dalam kondisi saat ini.
In syaa Allah, Ibu akan merasa lebih tenang dan bahkan bertambah cinta pada suami tentunya.
|
3
|
Baru-baru ini saya mendengar (bukan dari artikel langsung) bahwa setelah selesai wabah di Wuhan, ternyata angka perceraian meningkat. Saya berfikir ini mungkin karena kesalahan pengelolaan kecemasan dan lain-lain selama masa lockdown.
Bagaimana kita menyikapi dan berkoordinasi agar semua anggota keluarga bisa kompak menghadapi situasi lockdown (dengan sekolah online, tidak bisa keluar, dan lain-lain)?
|
Betul ibu, karena itu semua anggota keluarga butuh duduk bersama untuk sama-sama menyusun kembali aktivitas harian yang jauh berubah. Apalagi bagi para bapak yang melakukan WFH, tentunya juga perlu mengejar target pekerjaan yg diberikan perusahaan.
Tetaplah masing-masing anggota keluarga memiliki "me-time" agar bisa rileks dan tidak bosan.
Selain itu, hubungan dengan suami juga perlu diperhatikan. Karena pastinya bersama anak-anak selama 24 jam dengan setumpuk pekerjaan RT pastinya akan membuat ibu-ibu lelah.
Buatlah prioritas. Turunkan standar agar ibu-ibu juga tidak stress.
Ajak anak-anak untuk ikut membantu pekerjaan rumah. Hal ini juga bagus untuk anak-anak dalam melatih kemandirian mereka.
Bila ibu lelah, istirahatlah!
Karena suami, anak-anak lebih butuh ibu yang fresh ketimbang baju yang licin.
|
4
|
Bole jugakah menurunkan standart pekerjaan dari sekolah? misalnya 1 anak harus menyelesaikan 5 mata pelajaran dan menyetorkannya. Sedangkan ada 3 anak semua membutuhkan bantuan ibunya untuk mengerjakannya.
Maksud saya misalkan 1 anak hanya bisa menyelesaikan 3-4 pelajaran saja. Karena ibu harus membagi energi dengan yang lain.
|
Coba diskusikan dengan guru anak-anak. Sampaikan masalahnya, sehingga guru bisa memahami kondisi ibu di rumah.
Ajak guru untuk berdiskusi dan memberi saran akan masalah ini. Bila memungkinkan, mintalah deadline penyerahan tugas lebih panjang dari sebelumnya atau mengganti tugas-tugasnya dengan hal-hal yang bisa dilakukan anak secara mandiri.
Hal lain yang juga bisa ibu lakukan adalah bekerjasama dengan Ayah dan anak-anak yang sudah besar untuk membantu adik-adik yang kecil dalam menyelesaikan tugas.
Bagi waktu, lalu fokuskan pertama kali untuk membantu anak yang besar dulu dan setelah itu bersama anak yang besar membantu adik-adiknya.
Ajak diskusi ayah dan anak yang sudah besar. In syaa Allah pastinya mereka mau membantu.
|
5
|
Ketika kita membaca media sosial, sering muncul tentang langkah-langkah yang diambil pemerintah yang tidak menenangkan, apakah kita harus berhenti membaca informasi tersebut dan tidak terlalu banyak berharap. Karena jika terlalu berharap akan berdampak kepada kekecewaan yang tidak baik untuk kesehatan mental. Lebih baik fokus terhadap yang bisa kita lakukan saja?
|
Betul sekali Bu.
Sebaiknya sekarang kita mulai melakukan diet informasi. Cari informasi hanya pada situs-situs atau sumber yang bisa dipercaya.
"Keblebekan" informasi bisa membuat kita stress.
Fokus saja pada hal-hal yang bisa kita kontrol, seperti yang sudah saya bahas di atas.
Selain itu, tebar kebaikan dengan ikut membantu org lain dengan apa yang bisa kita bantu.
In syaa Allah, berbagi itu ditengarai dari beberapa penelitian bisa membuat kita bahagia.
|
6
|
Bagaimana cara kita menjaga agar emosi selalu stabil? Terus terang akhir-akhir ini kadang emosi itu naik turun, apalagi lihat banyaknya berita berseliweran.
Pengen nggak dilihat, tapi kelihatan dan kalau dilihat terus dibaca jadi nangis. Apalagi jauh dengan anak-anak.
|
Yang bisa kita lakukan adalah dengan menerima emosi itu terlebih dulu. Sadari apa yang sedang kita rasakan. Setelah itu beri "ruang" sebelum kita memberikan respon.
|
7
|
Ibu, sekarang ini kan sering kita lihat di media sosial banyak yang mengajak untuk share hal-hal yang positif. Yang seakan-akan malah jadi seperti ignore dengan realita yang sebenarnya.
Jadi seperti bahagia yang dipaksakan gitu bu. Wajah tersenyum tapi hati menangis.
Nah, apakah menyimpan emosi itu akan baik untuk kesehatan mental kita?
|
Share hal-hal yang positif in syaa Allah boleh-boleh saja ya Ibu-ibu…. Namun emosi ibu-ibu tetap perlu dikelola sehingga bisa menerima emosi apapun yang dirasakan, baik yang cenderung negatif ataupun positif.
Karena semua itu adalah ciptaan Allah, maka semuanya ada manfaatnya. Misalnya saja, anak mau ujian masuk perguruan tinggi.
Lalu kita sebagai orangtua merasa stress yang kemudian timbul rasa cemas, khawatir. Dari situ, maka sebenarnya emosi tersebut akan membuat kita terdorong untuk memikirkan apa usaha kita untuk membantu anak agar bisa lulus ujian. Maka kita akan terpacu untuk menyusun strategi bersama suami dan anak, apakah dengan menyarankan anak untuk ikut bimbel, mengajak anak untuk berdo’a, lalu bersedekah dan usaha-usaha lainnya.
Sementara jika tidak ada stress, tidak ada rasa cemas dan khawatir, maka mungkin kita akan santai-santai saja tidak melakukan apapun agar anak kita lulus ujian.
Nah, dari sini, terlihat deh bahwa yang bisa kita lakukan saat emosi negatif itu datang adalah dengan mengelolanya. Terima saja bahwa saat ini kita cemas, marah, khawatir, takut, dan lain-lain.
Lalu kita coba mencari cara yang bisa lakukan untuk menstabilkan emosi tersebut.
Misalnya dengan curhat pada pasangan atau sahabat, atau dengan melakukan teknik-teknik relaksasi sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah oleh para ibu, dengan mendengarkan kitab suci atau musik yang menenangkan, mandi dengan air hangat, berdo’a, atau melakukan hal-hal yang bisa menenangkan lainnya.
Setelah ibu merasa tenang, barulah ibu bisa memikirkan solusi dari masalah yg terjadi.
Jadi, dengan mengelola emosi, in syaa ALLAH kebahagiaan yang kita tularkan adalah kebahagiaan yang sebenarnya dan bisa "menularkannya" juga kepada orang lain. Aamiin.
|
8
|
Bagaimana cara meningkatkan produktifitas dalam situasi stress. Dimana telah mencoba tools relaksasi di atas namun gagal?
|
Tools relaksasi apapun baru akan berhasil ketika dilakukan secara rutin dan sungguh-sungguh disertai rasa percaya bahwa Allah lah yang akan memberi ketenangan.
Mengenai stress, tidak semua stress itu buruk. Karena di sisi lain stress bisa memotivasi kita untuk menjadi lebih baik. Misalnya, ketika akan ujian stress akan membuat seorang anak berusaha untuk belajar dengan sungguh-sungguh.
Dengan belajar, maka dia akan merasa jauh lebih tenang karena merasa sudah siap untuk ujian.
Karena itu, sudut pandang kita tentang stress harus diubah menjadi hal yang lebih memberdayakan. Misalnya dengan menjadikan stress sebagai pemicu produktivitas itu sendiri.
|
9
|
Bagi seseorang yang tidak bekerja pada suatu instansi, misal buka warung, pedagang kaki lima, dan lain-lain pastilah keadaan ekonomi terdampak. Bagaimana cara mengatasi stress akan tekanan ekonomi tersebut?
|
Satu, yang saya cermati dari pertanyaan ini adalah, cobalah untuk mengganti frame berpikir mengenai tekanan ekonomi yang memberi dampak stress menjadi frame berpikir yang lebih memberdayakan bagi diri pribadi.
Misalnya dengan "Saat ini, Allah masih ingin melihat saya untuk terus berusaha mencari nafkah bagi keluarga dan proses saya mencari nafkah tersebut bisa menjadi ladang jihad juga pahala yang besar untuk Saya sekeluarga".
Dengan demikian kita akan melihat perjuangan kita selama ini dan ke depan dalam mencari nafkah sebagai proses yang menjadi ladang amal sholeh untuk kita Mengenai hasilnya, itu adalah satu hal yang tidak bisa kita kontrol, karena bagian rezeki itu adalah hak Allah. Tetapi kita wajib menyempurnakan ikhtiar kita dengan terus berusaha mencari peluang-peluang lain yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Mungkin bisa dengan mengikuti pelatihan-pelatihan usaha di BLK, BMT atau LazNas yang bisa memberikan pelatihan dan pembinaaan gratis sampai memberikan modal usaha.
|
10
|
Bagaimana cara menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan “me-time” selama WFH? Mengingat selama WFH, hari dan jam kerja seakan tidak lagi mengenal hari libur.
|
Susunlah kembali jadwal aktifitas harian selama WFH. Dengan menyusunnya, maka bisa diatur pembagian waktu yang detail antar waktu yang harus digunakan untuk bekerja, misalnya : seperti biasanya di kantor 8 jam, lalu waktu untuk keluarga, istirahat dan me-time.
Misalnya, kasih jam kerja misal jam 8 pagi sampai jam 4 sore. Di luar itu tidak terima pekerjaan kantor lagi.
Sampaikan hal tersebut secara asertif kepada Bos, sehingga beliau bisa memahaminya. Toh, Pak Bos juga pastinya ingin punya waktu istirahat dan me-time juga kan?
|
Di akhir sesi interaktif, Narasumber memberikan tools Relaksasi sederhana kepada seluruh peserta, seperti berikut: